Pesan terahir dari sang istri tercinta
Selepas upacara penguburan, aku langsung masuk ke dalam kamar.
Pandanganku langsung tertuju pada benda berwarna biru, notebook
istriku. Hari ini kuberanikan menyentuh barang kesayangannya. Inilah
teman sejati istriku dalam menjalani hari-harinya.
Aku pun membukanya perlahan-lahan. Entah mengapa, aku langsung membuka recent document. Aku ingin tahu apa yang ia tulis terakhir kalinya. Ternyata ada sebuah file bertuliskan “Pesan Terakhir untuk Orang Tersayang”. Aku pun mulai membacanya…
“Aku
terlahir dengan kondisi fisik yang tidak begitu bagus. Tubuhku begitu
kurus karena aku mengidap penyakit yang berhubungan dengan system
pernapasanku. Dari sejak lahir hingga dewasa aku tumbuh menjadi
seorang yang pesakitan. Aku berteman dekat dengan rumah sakit, dokter,
jarum suntik dan yang pasti obat-obatan ialah sahabat sejatiku setiap
saat.
Aku memang tidak
pernah mengeluh karena orang-orang didekatku selalu menguatkanku.
Mereka selalu menghiburku. Meski aku tahu, penyakitku ini tidak bisa
sembuh total. Dulu, ketika penyakitku sering kambuh secara tiba-tiba,
aku selalu bertanya pada diriku sendiri, apa aku masih bisa hidup
besok?
Aku kadang tak
menyangka, jika aku masih bisa menghirup segarnya udara sampai saat
ini. Aku bersyukur, Sang Pencipta masih mengizinkanku untuk berkumpul
dengan orang-orang yang aku sayangi.
Aku
bahagia sekali karena sebelum tiba saatnya aku kembali ke pangkuanNya,
aku bisa meraih sebagian impianku. Aku bisa memberikan kedua
orangtuaku sebuah rumah mewah dan mobil mewah. Aku juga bersyukur
karena suamiku bisa mengajak kami untuk melaksanakan ibadah haji.
Itulah keinginan terbesar orangtuaku dari dulu.
Aku
pun bersyukur, karena aku mendapatkan seorang suami yang baik.
Penantianku yang begitu lama, ternyata tidak sia-sia. Aku mendapatkan
seorang suami yang begitu sempurna. Semua yang aku harapkan, ada
padanya.
Ia sosok lelaki yang diidamkan oleh semua
wanita. Tak heran jika banyak wanita yang menyukainya. Aku memang
tidak secantik wanita-wanita yang sering berada di dekatnya. Aku pun
tidak sebaik mereka. Aku masih terlalu banyak kekurangan bila
dibandingkan dengan mereka.
Maafkan
aku suamiku, aku pernah menangis karena aku cemburu melihat kau dekat
dengan teman sekerjamu. Kau bisa tertawa riang dan terlihat bahagia
ketika bersamanya. Kau bilang ia wanita hebat dan cerdas. Aku
berusaha tersenyum dihadapanmu, tapi hatiku menangis. Aku tidak suka
jika kau selalu membanding-bandingkan aku dengan wanita lain.
Tapi
biarlah karena aku mencintaimu bukan karena parasmu yang ganteng atau
juga karena kekayaanmu. Aku mencintaimu karena Sang Maha Pencipta.
Dan aku yakin kau pun sama sepertiku.
Kau
adalah anugerah terindah dalam hidupku. Kau telah membantu mewujudkan
impianku untuk membantu sesama yang merupakan keinginanku sebelum aku
menutup mata. Kau bantu aku membangun sekolah gratis untuk orang-orang
yang kurang mampu. Kau juga temani aku untuk menyantuni
saudara-saudara kita yang kurang beruntung.
Aku
ucapkan terima kasih banyak, suamiku. Kau telah menemani sisa
umurku. Aku bahagia bisa menjadi bagian dari hidupmu. Kau adalah suami
yang hebat. Aku selalu berharap kita bisa dipertemukan kembali dalam
surgaNya kelak.
Aku pun selalu berdo’a, jika tiba
saatnya aku kembali ke pangkuanNya, jagalah kedua malaikat kecil kita.
Didiklah mereka dengan iman dan ilmu. Temani mereka dengan cinta dan
kasih sayang.”
Tak terasa air mataku membasahi
notebook kesayangan istriku. Keheningan malam dan angin sepoi-sepoi
menemani kesendirianku di kamar ini. Kamar yang dulu selalu ada
bidadari yang menemaniku. Sekarang ia telah pergi menemui panggilan
cinta dari Sang Pencipta.
Jika aku tidak punya iman,
mungkin aku sudah gila dengan keadaan seperti ini. Wanita yang setiap
hari selalu menemaniku. Wanita yang senantiasa memberikan senyum
terindah di depanku, kini telah tiada.
Jika ia mengaku
begitu bahagia karena aku telah menjadi suaminya. Padahal sebenarnya,
akulah yang lebih bahagia, karena aku telah mendapatkan seorang wanita
yang hebat. Sejak aku mengenalnya, aku merasakan kebahagiaan yang luar
biasa.
Tok….tok….tok….
Suara ketukan pintu membuyarkan semua lamunanku. Terdengar Fatimah memanggil-manggil namaku.
“Yah, makan dulu, Yah….dari tadi pagi ayah kan belum makan.”
“Nanti saja, ayah belum lapar. Kalian duluan aja.”
Aku
tidak beranjak dari meja yang biasa dipakai istriku untuk menulis.
Aku tak kuasa untuk meninggalkan semua kenangan manis dengannya.
“Yah! boleh aku masuk?” Fatimah ternyata masih ada di depan pintu kamar.
Aku
mencoba bangkit, dan membuka kunci pintu kamarku. Tanpa berkata-kata,
aku peluk erat anak pertamaku ini. Fatimah tahu aku begitu tertekan.
Ia mencoba menguatkanku.
“Yah, kita semua kehilangan
seseorang yang berarti dalam hidup kita. Aku, Aisyah, Ayah dan semua
orang pasti belum siap untuk kehilangan ibu. Tapi….”
Fatimah
tak kuasa untuk melanjutkan kata-katanya. Aku mencoba menghapus air
mata Fatimah. Aku tahu kedua anakku memang sangat dekat dengan
ibunya. Mereka begitu mengidolakan ibunya.
“Ayah nggak boleh sedih terus ya…Bantu kami untuk tegar, Yah.”
Aku
tertegun memikirkan ucapan anakku barusan. Benar apa kata Fatimah,
aku harus tegar agar anak-anakku pun bisa tegar menghadapi semua ini.
Kami
memang bukan hanya kehilangan sosok seorang istri atau ibu. Tapi kami
kehilangan sosok seorang teman, sahabat, guru dan seorang yang
senantiasa setia mendengar semua cerita kami.
Aku masih
rindu dengan ide-ide cemerlangnya dan juga jiwa berbaginya. Memberi
merupakan suatu kebahagiaan baginya. Ia tidak hanya cantik fisiknya,
tapi ia juga cantik hati dan fikirnya.
Mentari, tidak
salah kedua orangtuamu memberimu nama itu. Karena kau selalu menyinari
tanpa memilih siapa yang akan kau sinari. Kau tak pernah meminta
balasan dengan semua kebaikanmu.
Aku tidak tahu, kalau kau
begitu cemburu dengan sikapku pada teman-teman perempuanku. Tapi
sebenarnya, akulah yang paling sering mencemburuimu. Aku sering
mendengar orang-orang terdekatmu memuji kecantikan dan keanggunanmu.
Mereka sering mengatakan padaku, aku orang yang sangat beruntung karena
mendapatkanmu. Mereka bilang, sulit sekali untuk mendekatimu.
Aku
begitu bahagia ketika kau mau menjadi istriku. Kau seorang istri yang
hebat, ibu yang bijak. Kau selalu membuat mereka bangga. Mereka
begitu mengagumimu. Kau idola bagi mereka.
Kau sosok yang
tidak pernah mengeluh. Ketika aku harus kerja di luar kota, aku baru
tahu kalau kau sakit. Aku baru tahu barusan, ketika Aisyah, cerita
tentang semuanya. Ketika aku tanya kenapa tidak mengabariku. Kau tahu
jawabnya, karena kau tidak mau konsentrasiku menjadi terganggu.
Aisyah
cerita padaku, penyakit sesakmu begitu parah. Kau pergi ke Rumah
Sakit hanya ditemani mereka berdua dan juga Bi Minah. Dan ketika aku
kembali, kau begitu segar bugar. Kau tak memperlihatkan tanda-tanda
kalau kau baru sembuh dari sakit.
Hari ini, kau kembali ke
pangkuanNya. Hari ini kau temui penciptaMu. Kau dulu pernah
bercerita, ketika kau masih kecil, penyakit yang kau idap ini sering
membuatmu sering bertanya, apakah besok kau masih hidup atau tidak?
Dan kau bilang, ternyata Tuhan itu Maha Baik, karena kau masih diberi
kesempatan untuk berbagi dengan sesama.
Istriku, tahukah
kau, hari ini begitu banyak tamu yang datang. Sekolah tempatmu berbagi
ilmu, sengaja diliburkan. Semua rekan sekerjamu dan juga
murid-muridmu datang untuk melihatmu untuk terakhir kalinya. Mereka
bilang kau guru yang hebat. Semua teman dan sahabatmu datang.
Ternyata teman-temanmu begitu banyak. Mereka semua kehilangan sosok
seorang teman, sahabat dan guru yang senantiasa memberi mereka
motivasi.
Mereka semua mendoakanmu. Dan kau tahu, ibuku
ialah orang yang paling terpukul dengan kepergianmu. Beliau selalu
memeluk photomu. Dan kau tahu, ibu marah padaku, karena aku tidak
memberitahu tentang penyakitmu sebelumnya. Ibu bilang aku ini suami
yang tidak baik.
Aku kehilangan separuh jiwa ini.
Tangisku seakan tidak bisa berhenti. Aku masih ingat ketika pertama
kali kita bertemu. Kau begitu mengagumkan. Kau benar-benar bidadari
surga yang diturunkan untuk menemaniku.
Maafkan jika
dulu aku pernah mendiamkanmu karena waktu itu ada seseorang yang bilang
mengagumimu. Padahal aku tahu, kau tidak pernah dekat dengan
laki-laki lain. Aku tahu, bahwa aku ini orang yang paling beruntung
karena mendapatkan seorang wanita yang belum pernah disentuh oleh
laki-laki lain.
Aku berjanji, aku akan menjaga anak-anak
kita. Biarlah aku melihat kedewasaanmu, ketegaranmu, dan kerendahan
hatimu dari Fatimah. Dan aku akan melepas kangen melihat kemanjaanmu,
kecerdasanmu dan rasa empatimu yang tinggi dari Aisyah.
Terima
kasih kau telah berikan dua wanita hebat disampingku. Mereka
terlahir dari rahim seorang ibu yang luar biasa. Mereka dibesarkan
dengan cinta dan kasih dari seorang ibu yang berhati malaikat.
Selamat
jalan istriku, pesan terakhirmu akan selalu aku ingat. Berbahagialah
bertemu dengan Yang Maha Mencintaimu, karena kau telah menorehkan
sejuta cinta penuh makna bagi orang-orang sekitarmu. Kami berjanji
akan meneruskan impianmu untk senantiasa membahagiakan sesama.
Inilah cerita kali ini, sungguh mengharukan,,, ;( ;(
Tunggu cerita cerita selanjutnya ya,,,
baca juga